Monday, November 10, 2008

M A H A D e W A


Cinta dalam arti asmara dapat diungkapkan dalam beragam nuansa kesedihan dan kegirangannya, kekecewaan dan harapannya, kecemasan dan keberaniannya, permainan lembut dan kesungguhan mesranya. Dan perempuan adalah manifestasi dari keindahan yang hanya bisa di sentuh oleh roh, dengan jiwa, karena itu mereka kehilangan arti badaniah, tidak menjasmani dalam kejelitaannya.

Cinta badaniah memiliki arti yang transendental, mengantarkan ke arah cinta yang lebih luhur, ke arah cinta kepada Mahadewa. Dengan demikian ia tidak akan terjatuh ke dalam sikap epikuris atau hedonis yang melewati batas. Ia ingin berada dalam batas-batas kesimbangan, keselarasan dan harmoni. Karena pada hakekatnya hidup adalah keselarasan dan harmoni.

Kita tidak akan berat sebelah dan melewati batas dalam sikapnya yang membelakangi dunia dan menafikan kehidupan duniawi. Dengan kecintaan kita pada dunia ini kan membuat kita memandang bumi tempat kita hidup ini tidak hanya sebagai pentas di mana manusia berperan, tetapi lebih dari itu, sebagai ibu yang mengasihi anak-anaknya, memberi mereka pangan dan kesenangan, meskipun apa yang dapat diberikannya itu jauh dari sempurna. Dan karena ketidak sempurnaan kasih bumi itu, manusia mesti mencintainya, memujanya dengan kegiatan-kegiatan manusiawinya yaitu dengan kerja.

Ya, dengan kerja kita puja bumi ini. Dengan bekerja tidak saja kita menolong bumi juga membantu Sang Mahadewa, karena Dia memanifestasikan diriNya juga dalam kegiatan manusiawi mengasuh dunia ini.

Mahadewa adalah yang Baka(infinit) dan segala ciptaanNya disebutkan sebagai Yang Fana(finit). Yang Baka itu memanifestasikan diriNya dalam Yang Fana ialah dalam beragam bentuk kegirangan di mana-mana, dalam alam, dalam manusia dan segala kegiatan manusiawinya.

Tetapi manifestasi dari Yang Baka itu baru mencapai kesempurnannya yang penuh dalam jiwa manusia. Sebab di sana kemauan Yang Baka bertemu dengan kemauan manusia. Di sana Yang baka itu datang tidak sebagai raja, tetapi datang sebagai tamu. Ia akan menunggu di luar pintu dengan kesabaran yang tak berbatas. Ia tidak akan merusak pintu dengan kekerasan dan kekuasaan seorang raja. Ia tidak akan masuk bila tidak dipersilahkan. Akan dibukakankah pintu untukNya atau tidak?, hal itu dikembalikan pada kemauan bebas dalam jiwa manusia. Bila jiwa manusia dengan kemauan bebasnya membukakan pintu untukNya, maka akan terjadilah pertemuan itu, permesraan itu, dan kemauan pun bertemu dengan kemauan, dalam kasih, dalam kebebasan.

Pertemuan antara kasih dari Yang Baka dan kasih dalam jiwa manusia ini adalah suatu intensi. Tetapi tenggelam dalam intensi ini semata manusia akan kehilangan keseimbangannya. Ia hanya hendak menyatukan diri dengan Yang Baka dalam renungan-renungannya semata, mabuk dalam dunia internalnya sendiri, Sedang Yang Baka, yang memanifestasikan dirinya pula di dunia eksternal, ia lupakan. Maka intensi itu mesti di imbangi dengan ekstensi. Dan ekstensinya adalah merealisasikan Yang Baka itu dalam perbuatan dan dalam segala kegiatan manusiawi.

Dalam kerja, dalam kegiatan manusiawi kita menyatukan diri dengan Yang Baka, membantu Dia dalam pekerjaanNya yang besar mengasuh dunia ini.

Persatuan kita sebagai Yang Fana dengan Yang Baka itu dapat di capai manusia dalam persentuhan mesranya dengan alam, dalam jiwanya sendiri dan dalam kegiatan manusiawinya di tengah kehidupan ini.
Demikianlah Yang Baka ini adalah Kaki Langit Maharaya. Kaki Langit yang tidak hanya berada dalam kesayupan jauh di muka kita, tetapi juga yang ada beserta kita, karena setiap langkah kita menuju kepadaNya selalu bergetar dengan irama kehadiranNya.
Kita telah, sedang dan akan menuju kepadaNya, karena kita adalah saat-saat dalam MaharayaNya yang tak terbatas, saat-saat dalam kepribadian Mahadewa yang besar.
Semoga kita tidak terlalu kecil untuk itu.

Kau rasa, kau sentuh dan kau ingatkan
Nu legawa

No comments: