Sunday, October 25, 2009

sarakah

adalah sebuah takdir bahwa seluruh mahluk tercipta dengan hasrat sejati tuk mengkonsumsi. Bayi kecil yang lahir akan menangis sejadinya sebagai tanda meminta air susu ibunya yang hangat dan bergizi.
Hewan-hewan mamalia kecil, yang lahir belum lama, juga selalu beringsut merapat keinduknya, menyusu.
Begitu pula halnya dengan pucuk-pucuk kecil tanaman yang baru menyembul di tanah, takkan pernah berhenti menyerap berbagai nutrisi yang terkandung dibumi.
Mungkin inilah kegiatan mengkonsumsi dalam ambisinya yang paling sederhana: bertahan hidup.

Tapi agaknya bagi manusia kegiatan mengkonsumsi telah menjelma dari sesuatu yang sederhana menjadi kusut. Mengkonsumsi tak lagi dilakukan sebagai kegiatan yang lahir dari kebutuhan, tapi yang berakar dari keinginan.

“aku ingin sepatu itu, Ma,” rengek seorang anak di sebuah pertokoan, yang baru dibelikan sepatunya yang kelima minggu lalu.
“anting-anting mutiara itu bagus betul,” mungkin kata seorang nyonya kaya berkalung berlian, yang terpana dikaca etalase sebuah Mal Mahal.
“mobil itu bagus sekali, seandainya aku punya itu, mungkin calon mertua akan kagum padaku,” begitu mungkin desah seorang lelaki dalam hatinya ketika angkot yang ia tumpangi bersama pacarnya disalip pelan oleh sebuah mobil mewah.

Posisi sebagai manusia, mahluk yang tak pernah puas itu, sepertinya telah bergeser dari pengonsumsi menjadi terkonsumsi. Tanpa sadar sesuatu yang menarik disekitar kita itulah yang membentuk mindset kita, membekaskan sesuatu persepsi, atau kepercayaan terhadap suatu janji, atau keuntungan yang ditawarkan, dan mendorong kita untuk terus mengkonsumsinya dari waktu ke waktu.

Saur legawa mah
nikmatilah apa yang kamu miliki dan milikilah apa yang kamu nikmati